KASUS FREEPORT, BAGAIMAN NASIB PAPUA?

PT Freeport Inonesia, Bukan Sekedar Masalah Renegosiasi Tapi
Menegakkan Kedaulatan RI
Sudah
44 tahun aktivitas pertambangan emas PT Freeport-McMoran Indonesia (Freeport)
bercokol di tanah Papua. Namun selama itu pula kedaulatan negara ini terus
diinjak-injak oleh perusahan asing tersebut. Pada Kontrak Karya (KK) pertama
pertambangan antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang dilakukan tahun 1967
memang posisi tawar pemerintah RI masih kecil, yaitu hanya sekedar pemilik
lahan. Dibandingkan PT Freeport yang memiliki tenaga kerja dan modal tentu
posisi tawar pemerintah saat itu masih kecil. Namun setelah 44 tahun apakah
posisi tawar pemerintah Indonesia masih rendah? Tentu tidak!
Mengacu
pada UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang mengamanatkan
pemerintah Indonesia untuk melakukuan renegosiasi kontrak seluruh perusahaan
tambang asing yang ada di negeri ini. UU ini menggantikan UU Nomor 11 tahun
1967 yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan pasca penandatanganan
KK. Berdasarkan data Kementrian ESDM, sebanyak 65 persen perusahaan tambang sudah
berprinsip setuju membahas ulang kontrak yang sudah diteken. Akan tetapi
sebanyak 35 persen dari total perusahaan tersebut masih dalam tahap
renegosiasi, salah satunya adalah pengelola tambang emas terbesar di dunia
yaitu Freeport.
Menurut
Direktur dan CEO Freeport Indonesia, Armando Mahler, menyatakan bahwa kontrak
pertambangan yang dimiliki perusahaan dengan pemerintah Indoneisa sudah cukup
adil bagi semua pihak. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak Freeport enggan
untuk patuh kepada UU yang berlaku, yaitu UU no. 4 tahun 2009 tentang Minerba.
Dari sini terlihat bahwa kasus Freeport ini tidak hanya merugikan negara
triliunan rupiah akan tetapi juga menginjak-injak kedaulatan Republik ini
dengan tidak mau patuh terhadap UU yang berlaku. Menurut seorang pengamat
Hankam, Bapak Soeripto, Konflik yang mendasasari kasus Freeport ini adalah
Kontrak Karya (KK) yang telah melecehkan Indonesia.
Salah seorang pengamat Hankam yang sudah senior,
Bapak Soeripto, menyatakan bahwa PT Freeport telah memberikan sejumlah dana
kepada aparat keamanan TNI/POLRI dalam rangka menjaga keamanan Freeport di atas
tanah Papua. Hal ini jelas menentang UU karena menurut UU pembiayaan aparat
keamanan untuk perlidungan objek vital nasional harus bersumber dari APBN bukan
dari perusahaan asing. Akibatnya banyak putra daerah Papua yang merasa asing di
rumah mereka sendiri. Dari sini terkesan bahwa aparat keamanan justru lebih
membela kepentingan asing daripada kepentingan bangsanya sendiri. Padahal
mereka harusnya menindak Freeport yang notabene telah merusak lingkungan
dengan membuat lubang tambang di Grasberg dengan diameter lubang 2,4 kilometer
pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman mencapai 800 m2 .
Dampak lingkungan yang Freeport berikan sangat signifikan, yaitu rusaknya
bentang alam pegunngan Grasberg dan Ersbeg. Kerusakan lingkungan telah mengubah
bentang alam seluas 166 km2 di daerah aliran sungai
Ajkwa.
PT Freeport McMoran Indonensia pun telah berlaku
semena-mena kepada karyawan Freeport Indonesia yang kebanyakan adalah orang
asli Indonesia. Menurut pengakuan Bapak Tri Puspita selaku Sekretaris Hubungan
Industri Serikat Pekerja Freeport Indonesia, Freeport bersifat eksklusif
sehingga akses untuk ke rumah sakit ataupun mess pun juga sulit. Lebih jauh
lagi, standart yang dimiliki pekerja Freeport dari Indonesia sama dengan
seluruh karyawan Freeport yang ada di seluruh dunia akan tetapi gaji yang
diterima oleh pekerja dari Indonesia hanya separuhnya. Menariknya lagi, menurut
laporan dari Investor Daily tanggal 10 Agustus 2009, dikatakan
bahwa pendapatan utama PT Freeport McMoran adalah dari operasi tambabangnya
yang ada di Indonesia, yaitu sekitar 60%. Sampai saat ini karyawan Freeport
tengah menjalankan aksi mogok kerja dengan menuntut kenaikan gaji US$ 4 per
jam. Sampai sekarang pihak management Freeport tidak menyetujui tuntutan
pekerja Indonesia tersebut. Bukan keadilan yang didapatkan pekerja Freeport
dari Indonesia yang menuntut kenaikan gaji akan tetapi tudingan sebagai
kelompok separatis lah yang mereka dapat. Padahal mereka hanya menuntut
hak-haknya sebagai warga negara untuk memperoleh kesejahteraan.
Menurut
seorang pakar ekonomi dari Universitas Padjajaran sekaligus aktivis LSM Econit,
Ibu Hendri, setidaknya ada tiga alasan mengapa solusi Freeport ini bukan
sekedar negosiasi. Pertama, Yaitu meluruskan aturan perundang-undangan yang
menyimpangkan amanah konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Kedua, Renegoisasi atau
perubahan Kontrak Karya (KK) yang tidak memakai dasar konstitusi tidak akan
memberikan manfaat bagi kepentingan rakyat Indonesia. Dan yang terakhir, rakyat
Papua secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum membutuhkan dana yang
besar untuk mengerjar ketertinggalan dalam membangun manusia maupun fasilitas
yang diperlukan untuk mendukung pelayanan sosial dan kemajuan ekonomi.
Indonesia
sebagai bangsa yang besar, harusnya tidak hanya mengejar keuntungan finansial
seperti pajak, deviden ataupun pembagian royalti dari sektor pertambangan akan tetapi
juga harus fokus pada keuntungan ekonomi, ungkap Ibu Hendri. Pemerintah harus
mempunyai visi besar dalam mengelola SDA yang dimiliki. Dalam hal ini,
pemerintah harus mempunyai koridor kebijakan yang jelas mengenai bagaimana
pemanfaatan segala sumber daya alam yang dimiliki untuk kemajuan ekonomi bangsa
Indonesia. Sebagai contohnya, pemerintah China tidak serta merta segera
mengekspor kandungan batu bara yang dimiliki secara besar-besaram ke pasar
dunia akan tetapi China menahan produk batu baranya dalam negeri untuk
kepentingan dalam negeri sendiri tersebut untuk mendorong kemajuan ekonomi
negeri tersebut, dalam hal ini sumber energi.
Pak Soeripto yang juga selaku mantan anggota Badan
Intelejen Negara (BIN) mengemukakan analisis yang menarik, menurut beliau,
pasca Perang Dingin, selayaknya bangsa Indonesia sadar bahwa trend perang dalam
masa sekarang adalah perang untuk memperebukan sumber daya alam atau resource war. Sekarang
negara-negara besar sedag berperang untuk merebutkan sumber daya alam. Dan ini
suah terjadi di berbagai negara seperti Iraq, Afganistan, Kongo, Libya, dll.
Urusan perebutan masalah sumber daya alam ini sejatinya tidak memperdulikan
berapa korban jiwa yang jatuh. Begitu juga masalah Freeport, kita tahu sendiri
akhir-akhir ini masih sering terjadi aksi penembakan di Papua yang menelan
korban baik kalangan aparat keamanan ataupun putra daerah Papua sendiri.
Sudah
selayaknya kita memandang kasus Freeport ini selain dengan pemahaman yang
mendalam juga dengan kacamata perspektif yang berbeda. Sehingga kita dapat
melihat masalah ini secara komprehensif. Harus kita ingat bahwa masalah ini
bukan sekedar penandatangan kontrak kerja baru, hitam di atas putih.
Melainkan masalah yang lebih krusial lagi, yaitu penegakkan kedaulatan Republik
Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar