Selasa, 23 Juni 2015

BUMN

Diposting oleh Unknown di 00.20 0 komentar
Pengertian BUMN

Di Indonesia, Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang sebagian atau seluruh kepemilikannya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. BUMN dapat pula berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan untuk menyediakan barang atau jasa bagi masyarakat. 
Berdasarkan Undang- Undang No. 19 tahun 2003 Pasal 1 dijelaskan bahwa pengertian dari Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, dan kegiatan utamanya adalah untuk mengelola cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat.

Maksud dan Tujuan BUMN

Berdasarkan UU no. 19 Tahun 2003 pasal 2, maksud dan tujuan pendirian BUMN tidak lain adalah sebagai berikut:
1.    Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.
2.    Mengejar keuntungan. 
3.    Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. 
4.    Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. 
5.    Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. 

Dasar Hukum BUMN

Dasar hukum pembentukan BUMD adalah berdasarkan UU No 5 tahun 1962 tetang perusahaan daerah. UU ini kemudian diperkuat oleh UU No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah (Nota Keuangan RAPBN, 1997/1998).

Landasan hukum

Badan Hukum Milik Negara dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UUUndang-Undang (Perpu) Nomor 19 Tahun 1960 tentang perusahaan negara, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1969 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Badan Usaha Milik Negara menjadi Undang-Undang. Kemudian setelah adanya undang-undang ini, terjadi suatu perubahan lagi tentang BUMN, yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

 Kelebihan dan kekurangan Badan Usaha Milik Negara
a.       Kelebihan BUMN
1.       Menguasai sektor yang vital bagi kehidupan rakyat banyak
2.       Mendapat jaminan dan dukungan dari negara
3.       Permodalannya sudah pasti karena mendapat modal dari negara
4.       Kelangsungan hidup perusahaan terjamin
5.       Sebagai sumber pendapatan Negara

Sektor yang terlibat dalam BUMN

1.       Industri Pengolahan

2.       Jasa Keuangan dan Asuransi

3.       Kontruksi

Sumber:
Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

http://mhugm.wikidot.com/artikel:003

Selasa, 26 Mei 2015

HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual)

Diposting oleh Unknown di 00.06 0 komentar
Pengertian HAKI

Hak adalah benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu ( karena telah ditentukan oleh undang-undang ), atau wewenang menurut hukum.
Kekayaan adalah perihal yang ( bersifat, ciri ) kaya, harta yang menjadi milik orang, kekuasaan.
Intelektual adalah cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu  pengetahuan, atau yang mempunyai kecerdasan tinggi, cendikiawan, atau totalitas  pengertian atau kesadaran terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Hak Atas Kekayaan Intelektual ( HAKI ) adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai  bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis. Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk.  Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil). Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud (seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan dan sebaginya, yang tidak mempunyai bentuk tertentu.

Syarat Dapat Dibuatnya Hak Paten

Pengertian atau Definisi Hak Paten (Patent) adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Menurut UU hak paten No. 14 Tahun 2001 (UU hak paten 2001), hak patendiberikan untuk invensi yang memenuhi syarat kebaruan, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri selama 20 tahun.
Syarat mendapatkan hak paten ada tiga yaitu penemuan tersebut merupakan penemuan baru. Yang kedua, penemuan tersebut diproduksi dalam skala massal atau industrial. Suatu penemuan teknologi, secanggih apapun, tetapi tidak dapat diproduksi dalam skala industri (karena harganya sangat mahal atau tidak ekonomis), maka tidak berhak atas paten. Yang ketiga, penemuan tersebut merupakan penemuan yang tidak terduga sebelumnya (non obvious).

Sanksi Bagi Pelanggar HAKI

Di dalam Undang-Undang Hak Cipta juga di atur tentang pembebanan denda dan pengganjaran hukuman penjara sebagai sanksi pidana atas setiap pelanggaran terhadap Hak Cipta.
Pada Undang-Undang R.I. No.19 tahun 2002, terjadi perubahan yang cukup signifikan yang menyangkut sanksi pidana tersebut. Kalau pada Undang-Undang Hak Cipta No.12 tahun 1997 yang lalu, sanksi pidana hanya menentukan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun tanpa hukuman minimal, tapi pada Undang-Undang yang baru ini telah ditentukan hukuman minimal atau singkat 1 (satu) bulan penjara dan maksimal 7 (tujuh) tahun penjara serta denda sebesar 5 (lima) milyar rupiah.
Berikut ini kami kutipkan ketentuan mengenai sanksi pidana atas pelanggaran Hak Cipta dalam Undang-Undang R.I. No.19 tahun 2002 :
Pasal 72
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta), atau pidana penjara paling lama 7 (Tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan , atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4. Barang siapa dengan sengaja melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupah).
5. Barang siapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau Pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan / atau denda
paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
6. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
7. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
8. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
9. Barang siapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
Pasal 73
1. Ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana Hak Cipta atau Hak terkait serta alat-alat yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan.
2. Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang seni dan bersifat unik, dapat dipertimbangkan untuk tidak dimusnahkan.


Sumber: 
http://vannydjs.blogspot.com/2015/05/hak-atas-kekayaan-intelektual.html
https://blogmusic12.wordpress.com/2009/01/17/saksi-pelanggaran/


Selasa, 28 April 2015

ASAS-ASAS PERJANJIAN DALAM UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Diposting oleh Unknown di 21.35 0 komentar


Dalam membuat suatu perjanjian tentunya kita juga harus memperhatikan asas-asas yang ada pada perjanjian tersebut. Hukum Perjanjian Indonesia mengenal 5 asas penting yang biasa digunakan, yaitu antara lain:
      1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 KUHPrdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a.       membuat atau tidak membuat perjanjian;
b.      mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c.       menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
d.      menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.  

      2. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
 Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian. 

         3.  Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.  Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. 

      4. Asas Itikad Baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

         5. Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPrdt. Pasal 1315 KUHPrdt menegaskan:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”
Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUHPrdt berbunyi:
“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPrdt yang menyatakan:
“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPrdt, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPrdt mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPrdt untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPrdt mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPrdt memiliki ruang lingkup yang luas.


Sumber: 

http://hukumindonesia-laylay.blogspot.com/2012/02/asas-asas-perjanjian.html

Minggu, 29 Maret 2015

Diposting oleh Unknown di 20.52 0 komentar
KASUS FREEPORT, BAGAIMAN NASIB PAPUA?

Description: my photo

PT Freeport Inonesia, Bukan Sekedar Masalah Renegosiasi Tapi Menegakkan Kedaulatan RI

Sudah 44 tahun aktivitas pertambangan emas PT Freeport-McMoran Indonesia (Freeport) bercokol di tanah Papua. Namun selama itu pula kedaulatan negara ini terus diinjak-injak oleh perusahan asing tersebut. Pada Kontrak Karya (KK) pertama pertambangan antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang dilakukan tahun 1967 memang posisi tawar pemerintah RI masih kecil, yaitu hanya sekedar pemilik lahan. Dibandingkan PT Freeport yang memiliki tenaga kerja dan modal tentu posisi tawar pemerintah saat itu masih kecil. Namun setelah 44 tahun apakah posisi tawar pemerintah Indonesia masih rendah? Tentu tidak!
Mengacu pada UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk melakukuan renegosiasi kontrak seluruh perusahaan tambang asing yang ada di negeri ini. UU ini menggantikan UU Nomor 11 tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan pasca penandatanganan KK. Berdasarkan data Kementrian ESDM, sebanyak 65 persen perusahaan tambang sudah berprinsip setuju membahas ulang kontrak yang sudah diteken. Akan tetapi sebanyak 35 persen dari total perusahaan tersebut masih dalam tahap renegosiasi, salah satunya adalah pengelola tambang emas terbesar di dunia yaitu Freeport.
Menurut Direktur dan CEO Freeport Indonesia, Armando Mahler, menyatakan bahwa kontrak pertambangan yang dimiliki perusahaan dengan pemerintah Indoneisa sudah cukup adil bagi semua pihak. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak Freeport enggan untuk patuh kepada UU yang berlaku, yaitu UU no. 4 tahun 2009 tentang Minerba. Dari sini terlihat bahwa kasus Freeport ini tidak hanya merugikan negara triliunan rupiah akan tetapi juga menginjak-injak kedaulatan Republik ini dengan tidak mau patuh terhadap UU yang berlaku. Menurut seorang pengamat Hankam, Bapak Soeripto, Konflik yang mendasasari kasus Freeport ini adalah Kontrak Karya (KK) yang telah melecehkan Indonesia.
Salah seorang pengamat Hankam yang sudah senior, Bapak Soeripto, menyatakan bahwa PT Freeport telah memberikan sejumlah dana kepada aparat keamanan TNI/POLRI dalam rangka menjaga keamanan Freeport di atas tanah Papua. Hal ini jelas menentang UU karena menurut UU pembiayaan aparat keamanan untuk perlidungan objek vital nasional harus bersumber dari APBN bukan dari perusahaan asing. Akibatnya banyak putra daerah Papua yang merasa asing di rumah mereka sendiri. Dari sini terkesan bahwa aparat keamanan justru lebih membela kepentingan asing daripada kepentingan bangsanya sendiri. Padahal mereka  harusnya menindak Freeport yang notabene telah merusak lingkungan dengan membuat lubang tambang di Grasberg dengan diameter lubang 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman mencapai 800 m2 . Dampak lingkungan yang Freeport berikan sangat signifikan, yaitu rusaknya bentang alam pegunngan Grasberg dan Ersbeg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km2 di daerah aliran sungai Ajkwa.
PT Freeport McMoran Indonensia pun telah berlaku semena-mena kepada karyawan Freeport Indonesia yang kebanyakan adalah orang asli Indonesia. Menurut pengakuan Bapak Tri Puspita selaku Sekretaris Hubungan Industri Serikat Pekerja Freeport Indonesia, Freeport bersifat eksklusif sehingga akses untuk ke rumah sakit ataupun mess pun juga sulit. Lebih jauh lagi, standart yang dimiliki pekerja Freeport dari Indonesia sama dengan seluruh karyawan Freeport yang ada di seluruh dunia akan tetapi gaji yang diterima oleh pekerja dari Indonesia hanya separuhnya. Menariknya lagi, menurut laporan dari Investor Daily tanggal 10 Agustus 2009, dikatakan bahwa pendapatan utama PT Freeport McMoran adalah dari operasi tambabangnya yang ada di Indonesia, yaitu sekitar 60%. Sampai saat ini karyawan Freeport tengah menjalankan aksi mogok kerja dengan menuntut kenaikan gaji US$ 4 per jam. Sampai sekarang pihak management Freeport tidak menyetujui tuntutan pekerja Indonesia tersebut. Bukan keadilan yang didapatkan pekerja Freeport dari Indonesia yang menuntut kenaikan gaji akan tetapi tudingan sebagai kelompok separatis lah yang mereka dapat. Padahal mereka hanya menuntut hak-haknya sebagai warga negara untuk memperoleh kesejahteraan.
Menurut seorang pakar ekonomi dari Universitas Padjajaran sekaligus aktivis LSM Econit, Ibu Hendri, setidaknya ada tiga alasan mengapa solusi Freeport ini bukan sekedar negosiasi. Pertama, Yaitu meluruskan aturan perundang-undangan yang menyimpangkan amanah konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Kedua, Renegoisasi atau perubahan Kontrak Karya (KK) yang tidak memakai dasar konstitusi tidak akan memberikan manfaat bagi kepentingan rakyat Indonesia. Dan yang terakhir, rakyat Papua secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum membutuhkan dana yang besar untuk mengerjar ketertinggalan dalam membangun manusia maupun fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pelayanan sosial dan kemajuan ekonomi.
Indonesia sebagai bangsa yang besar, harusnya tidak hanya mengejar keuntungan finansial seperti pajak, deviden ataupun pembagian royalti dari sektor pertambangan akan tetapi juga harus fokus pada keuntungan ekonomi, ungkap Ibu Hendri. Pemerintah harus mempunyai visi besar dalam mengelola SDA yang dimiliki. Dalam hal ini, pemerintah harus mempunyai koridor kebijakan yang jelas mengenai bagaimana pemanfaatan segala sumber daya alam yang dimiliki untuk kemajuan ekonomi bangsa Indonesia. Sebagai contohnya, pemerintah China tidak serta merta segera mengekspor kandungan batu bara yang dimiliki secara besar-besaram ke pasar dunia akan tetapi China menahan produk batu baranya dalam negeri untuk kepentingan dalam negeri sendiri tersebut untuk mendorong kemajuan ekonomi negeri tersebut, dalam hal ini sumber energi.
Pak Soeripto yang juga selaku mantan anggota Badan Intelejen Negara (BIN) mengemukakan analisis yang menarik, menurut beliau, pasca Perang Dingin, selayaknya bangsa Indonesia sadar bahwa trend perang dalam masa sekarang adalah perang untuk memperebukan sumber daya alam atau resource war. Sekarang negara-negara besar sedag berperang untuk merebutkan sumber daya alam. Dan ini suah terjadi di berbagai negara seperti Iraq, Afganistan, Kongo, Libya, dll. Urusan perebutan masalah sumber daya alam ini sejatinya tidak memperdulikan berapa korban jiwa yang jatuh. Begitu juga masalah Freeport, kita tahu sendiri akhir-akhir ini masih sering terjadi aksi penembakan di Papua yang menelan korban baik kalangan aparat keamanan ataupun putra daerah Papua sendiri.
Sudah selayaknya kita memandang kasus Freeport ini selain dengan pemahaman yang mendalam juga dengan kacamata perspektif yang berbeda. Sehingga kita dapat melihat masalah ini secara komprehensif. Harus kita ingat bahwa masalah ini bukan sekedar penandatangan kontrak  kerja baru, hitam di atas putih. Melainkan masalah yang lebih krusial lagi, yaitu penegakkan kedaulatan Republik Indonesia.

 

Siti Marissah Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review